Yang Luput dari Soal Arus Balik

Ada satu soal penting yang sering kita luputkan ketika membahas soal kemaritiman, sebagaimana yang belakangan banyak dibicarakan. Negeri kita memang adalah benua maritim. Dan praktik developmentalisme Orde Baru, yang dikuasai oleh Angkatan Darat itu, sejak lama memang telah membetot kita jauh ke tradisi agraris di pedalaman, sehingga melupakan tradisi pesisir. Namun, menurut saya, persoalan kita dengan kemaritiman bukanlah sekadar soal melupa dan mengingat, menghadap atau memunggungi.
Dalam novel “Arus Balik”, Pram secara tajam memang mengajukan pandangan bahwa jatuhnya Nusantara ke tangan imperialisme terjadi secara beriringan dengan jatuhnya peradaban maritim di negeri ini. Ketika industri galangan kapal di pesisir Jawa dihancurkan, atau perdagangan antar pulau menggunakan kapal-kapal besar dilarang, dan dimana pusat-pusat kekuasaan semakin tersuruk ke pedalaman, pada saat itulah kolonialisme datang mencengkeram Nusantara.
Persoalannya, apakah Nusantara memang jatuh karena terkalahkannya peradaban maritim? Atau, apakah maritim memang adalah “core” dari negeri kita, sehingga ia bisa menjadi penentu jatuh dan bangunnya negeri ini?
Sebelum membahas pertanyaan itu, ada baiknya kita mengingat satu hal lebih dulu. Ada dua frase yang mungkin masih melekat dalam benak kita terkait identitas nenek moyang bangsa ini. Dari sebuah lagu kanak-kanak yang terkenal di zaman saya kecil, saya diberi tahu bahwa “nenek moyangku seorang pelaut”. Dan dari pelajaran-pelajaran sejarah atau geografi, sejak bangku sekolah dasar saya juga diajari bahwa nenek moyang kita adalah “bangsa pedagang”. Pada generasi saya, yang dibesarkan oleh serial “Si Unyil” dan acara musik “Aneka Ria Safari” di TVRI dulu, asosiasi tadi demikian lekat. Nenek moyang kita adalah “pelaut dan pedagang”.
Asosiasi itu terus melekat kuat dan baru mendapatkan problematisasi yang serius, pada diri saya, ketika Orde Baru tumbang. Seandainya nenek moyang kita adalah bangsa pedagang, bukankah rezim Orde Baru juga ditegakkan dan dikelola oleh para pedagang?! Secara anekdotal kita bisa mengatakan, apapun profesinya, baik tentara maupun birokrat, semua orang pada zaman itu adalah pedagang.
Tapi kenapa ia bisa tumbang? Kenapa struktur perekonomiannya demikian rapuh?! Apakah karena pembangunannya tak berbasis maritim, seperti kesimpulan sekunder dari karya Pram tadi?
Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul belakangan tersebut, saya tertarik kepada analisis Cohen dan Zysman. Dalam bukunya, “Manufacturing Matters: The Myth of the Post-Industrial Economy” (New York : Basic Books, 1987), kedua ekonom Berkeley itu memaparkan bahwa esensi dari perkembangan perekonomian tidak terletak pada pergeseran titik tumpu dari sektor pertanian ke sektor manufaktur, atau dari sektor manufaktur ke sektor jasa, sebagaimana yang lazim kita jumpai dalam teori-teori modernisasi.
Menurut keduanya, esensi perkembangan itu terletak pada hubungan dialektik antara apa yang mereka sebut sebagai sektor inti (core sector) dengan sektor pendukung (supporting sector). Dalam sebuah perekonomian yang sehat, sektor-sektor pendukung perekonomian harus selalu memiliki kaitan langsung dengan sektor inti.
Apa yang dimaksud dengan sektor inti oleh Cohen dan Zysman tidak lain adalah sektor pertanian. Surplus yang terjadi di sektor inti, yaitu di sektor pertanian, merupakan faktor utama yang telah mendorong munculnya industri hulu berupa kegiatan manufaktur, seperti industri pupuk dan petrokimia; juga menjadi faktor utama yang mendorong munculnya industri-industri hilir, seperti industri pengolahan bahan makanan dan sejenisnya; serta pada akhirnya telah mendorong perkembangan kegiatan perdagangan dan jasa.
Dapat dilihat bahwa faktor pendinamis perekonomian pada mulanya adalah sektor pertanian dan lalu kemudian sektor-sektor lain yang masih memproduksi barang nyata (material production). Jika sektor inti mengalami kemunduran, maka sektor-sektor pendukung juga akan mengalami kemunduran.
Berbeda dengan sektor inti yang bisa “menolong” perekonomian jika sektor pendukung mengalami kemunduran, maka kemunduran sektor inti tidak bisa ditolong oleh sektor pendukung. Cohen dan Zysman mengajukan contoh perekonomian Amerika, dimana defisit perdagangan produk manufaktur tidak dapat diimbangi oleh surplus perdagangan produk jasa. Secara metaforik, relasi antara sektor inti dengan sektor pendukung ini sama seperti relasi antara ubi dengan kue timus. Ubi bisa diolah menjadi timus, tapi timus tidak bisa diolah menjadi ubi kembali.
Penjelasan Cohen dengan Zysman mengenai sektor inti dan sektor pendukung itu bisa digunakan untuk memperjelas bagaimana sebenarnya posisi identitas nenek moyang kita sebagai “pedagang” dan “pelaut” tadi.
Jika kita buka-buka kembali berbagai risalah sejarah, kita akan mendapati bahwa maraknya kegiatan perdagangan dan pelayaran antar-pulau di Nusantara, merupakan efek dari perkembangan sektor pertanian dan perkebunan. Surplus yang terjadi di sektor pertanian dan perkebunan telah mendorong berkembangnya kegiatan perdagangan, bahkan hingga ke mancanegara.
Jelaslah bahwasanya kegiatan perdagangan adalah ekses dari perkembangan yang terjadi di sektor produksi, dan kegiatan pelayaran merupakan konsekuensi dari perkembangan yang terjadi di sektor perdagangan. Dengan kata lain, yang menjadi pemicu terjadinya kegiatan perdagangan dan pelayaran di masa lalu adalah perkembangan di sektor inti perekonomian Nusantara. Dan itu artinya perkembangan yang terjadi di sektor pertanian.
Inilah bedanya kegiatan perdagangan yang dulu dilakukan nenek moyang dengan negara dagang Orde Baru. Karena disokong oleh sektor inti yang kuat, kita dulu merupakan bangsa produsen, dimana kegiatan perdagangan hanya merupakan konsekuensi logis saja. Sementara, pada masa Orde Baru, kegiatan perekonomian tidak benar-benar disokong oleh sektor inti, terutama setelah sektor pertanian tak lagi dijadikan fokus pembangunan di masa deregulasi, sehingga kegiatan perdagangan yang muncul hanya merupakan symptom dari kapitalisme rente belaka, bukan dari kegiatan produktif.
Jadi, dengan konteks sejarah tadi, dan ditambah dengan penjelasan Cohen dan Zysman soal sektor inti dan sektor pendukung, soal maritim dan agraris sebenarnya bukanlah soal pilihan yang bersifat bipolar.
Makanya, sampai di situ saya persis khawatir dengan logika dagang yang dikembangkan oleh rezim yang berkuasa saat ini. Sejak sepuluh tahun yang lalu kita telah mengalami gejala deindustrialisasi. Pendek kata, sektor produksi dan pengolahan kita terus mengalami pelemahan, yang menjadi salah satu pemicu terjadinya defisit perdagangan.
Jika sektor produksi dan pengolahan kita terus mengalami pelemahan, tentu muncul pertanyaan: lantas, seluruh infrastruktur perdagangan yang sedang dan akan kita bangun itu sebenarnya untuk memfasilitasi kegiatan perdagangannya siapa?
Mengingat lagi naskah yang disusun oleh Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang dipimpin Hatta pada 1947, politik perekonomian nasional seharusnya dirancang untuk memperbesar daya beli (purchasing power) rakyat. Dan untuk memperbesar daya beli rakyat itu maka kegiatan produksi yang dikerjakan oleh rakyat harus didukung agar menjadi besar. Jadi, rakyat tidak dijadikan sebagai sumber tenaga kerja murah bagi modal asing, atau dijadikan pasar bagi produk-produk asing, melainkan dijadikan tuan bagi usahanya sendiri.
Apakah sudut pandang politik perekonomian sebagaimana disusun oleh Panitia Pemikir Siasat Ekonomi itu sudah tercermin dari isi pidato Presiden RI dalam KTT APEC di Beijing kemarin?
Satu hal yang jelas, kita hanya bisa memanfaatkan laut jika pertama-tama kita sanggup untuk kembali menjadi BANGSA PRODUSEN. Tanpa itu, maritim hanyalah sebuah dongeng kosong.
Pertanyaannya kemudian, darimana kita memulai? Yang jelas, bukan dari rencana menaikkan harga BBM, yang pasti akan semakin menekan daya beli rakyat.
Semoga kita tidak akan ketemu suatu masa dimana “DI DARAT KITA TANDAS, DI LAUT KITA LUDAS”. Semoga…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar